Bisnis Internasional

 Bisnis Internasional adalah apabila dalam suatu bisnis melibatkan para pihak lebih dari 1 (satu) negara. Banyak aspek yang timbul manakala terjadi bisnis internasional tersebut yang perlu diatur oleh hukum agar bisnis tersebut dapat berjalan dengan tertib, pasti, dan adil. Berikut ini beberapa aspek hukum yang menyangkut dengan bisnis internasional (international business) atau perdagangan internasional (international trade).

 

A. Jual Beli Internasional

1. Benturan-Benturan Hukum dalam Jual Beli Internasional

Karena umumnya ada 2 (dua) negara yang terlibat dalam hal jual beli internasional dimana hukum dari negara-negara tersebut saling berbeda satu sama lain, maka benturan-benturan hukum antar negara yang terlibat tidak dapat dihindari. Hukum berusaha menyelesaikan benturan tersebut dengan cara-cara sebagai berikut:

  • Dengan pembuatan konvensi-konvensi Internasional
  • Penyelesaian lewat hukum perdata Internasional
  • Penyelesaian lewat pengaturan para pihak dalam kontrak.

Pokok–pokok masalah yang sering timbul dalam jual beli internasional berhubungan dengan berbedanya hukum diantara negara dari pihak pembeli dengan negara dari pihak penjual adalah sebagai berikut:

a. Kekuatan Hukum Negoisasi

Ada negara yang menganut prinsip bahwa negoisasi tidak mengikat sama sekali, atau paling jauh, baru mengikat secara moral, belum secara hukum. Jadi, ikatan hukum baru ada setelah ditanda tanganinya kontrak. KUH Perdata Indonesia (Pasal 1320) menganut prinsip seperti ini.

Akan tetapi, ada negara-negara yang sudah memberikan semacam ikatan hukum kepada negoisasi sampai batas-batas tertentu, yaitu ikatan yang timbul dari preliminary agreement.

b. Akseptasi yang Berbeda dengan Tawaran

Pada tahap-tahap awal dari suatu kontrak, salah satu pihak melakukan penawaran (offer) dan pihak lain melakukan penerimaan (acceptance) terhadap penawaran tersebut. Karena berbagai alasan, sering terjadi apa yang ditawarkan ternyata tidak persis sama dengan penerimaan tawaran. Hukum Indonesia menganut prinsip bahwa jika ada perbedaan antara penawaran dengan penerimaan tawaran, maka kata sepakat belum terbentuk, sehingga kontrak dianggap tidak pernah ada. Akan tetapi, ada negara-negara, seperti Amerika Serikat, yang sampai batas-batas tertentu mentolerir perbedaan antara penawaran dengan penerimaan. Tawaran, dimana jika perbedaan tersebut tidak begitu signifikan, maka kontrak dianggap sudah ada, bahkan penyimpangan tersebut dapat dianggap sebagai bagian dari kontrak yang bersangkutan.

c. Pembatalan Suatu Tawaran

Jika sudah dilakukan suatu tawaran, misalnya tawaran untuk menjual dari penjual, ada negara yang menganggap tawaran tersebut bisa dibatalkan sebelum penerimaan tawaran dilakukan oleh pihak lawan, dengan alasan bahwa tawaran tersebut masih merupakan perbuatan sepihak yang dapat dibatalkan pula secara sepihak. Akan tetapi, ada juga negara-negara yang mempunyai hukum yang menyatakan bahwa suatu tawaran, meskipun merupakan perbuatan sepihak dan meskipun belum dilakukan penerimaan tawaran oleh pihak lawan, tetapi sampai suatu waktu tertentu yang pantas (reasonable time), maka tawaran tersebut tidak dapat dicabut kembali.

d. Perlu Tidaknya Suatu Consideration

Suatu consideration merupakan prestasi dari pihak lawan sebagai akibat adanya prestasi dari pihak yang melakukan penawaran kontrak. Jika dalam hal jual beli dimana pihak yang melakukan tawaran adalah pihak penjual, maka yang merupakan consideration adalah harga barang yang harus dibayar oleh pihak pembeli. Hukum dari negara-negara yang berlaku Common Law umumnya mensyaratkan adanya unsur consideration ini, meskipun pemberlakuannya semakin lama semakin luntur, tetapi hukum dari negara-negara yang berlaku system Eropa Kontinental (seperti Indonesia) tidak mengakui prinsip consideration ini.

e. Keharusan Kontrak Tertulis

Kemajuan teknologi dewasa ini menyebabkan dalam berkontrak, orang tidak selamanya menggunakan kontrak tertulis yang ditanda tangani kedua belah pihak. Bahkan, dewasa ini penggunaan faksimile, telepon, atau internet sudah semakin sering digunakan dalam melakukan jual beli. Ada negara seperti Indonesia yang memang tidak mengharuskan kontrak jual beli dilakukan secara tertulis. Akan tetapi, ada negara yang berlaku prinsip Statute of Fraud, yang mengajarkan bahwa kontrak tertentu harus dilakukan secara tertulis, seperti jual beli dengan harga diatas harga tertentu.

f. Waktu Dianggap Tercapainya Kata Sepakat

Waktu dianggap sudah tercapainya kata sepakat juga berbeda dari 1 (satu) negara ke negara lainnya. Bahkan, banyak negara yang sama sekali tidak jelas hukumnya tentang hal tersebut. Ada negara yang hukumnya menyatakan bahwa kata sepakat terjadi pada saat dikirimnya penerimaan tawaran. Ada juga yang mengatakan pada saat diterimanya oleh pihak penawar pengiriman penerimaan tawaran. Akan tetapi, ada juga yang menyatakan pada saat pihak penawar mengetahuinya secara nyata (actual knowledge) bahwa tawarannya sudah diterima oleh pihak lawan dan masih banyak lagi teori yang lain.

2. Dasar Hukum terhadap Jual Beli Internasional

Perlu diketahui apakah yang menjadi dasar hukum terhadap suatu kontrak jual beli internasional. Dasar hukum tersebut adalah sebagai berikut.

  • Ketentuan dalam kontrak tesebut, berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak
  • Ketentuan dalam Undang-Undang tentang Hukum Kontrak (Nasional)
  • Kebiasaan bisnis ( trade usage )
  • Yurisprudensi
  • Kaidah Hukum Perdata Internasional
  • Konvensi-konvensi internasional, seperti United Nations Convention on Contracts for the International Sale.

3. Pengaturan Risiko dalam Jual Beli Internasional

Berhubung berbedanya negara dari pembeli dengan penjual, sehingga memerlukan pengiriman barang dari 1 (satu) tempat ke tempat lainnya, maka berbagai kemungkinan dapat terjadi atas barang objek jual beli tersebut. Misalnya, barang tersebut hilang atau rusak ditengah jalan. Umumnya hal tersebut dapat dikategori sebagai kejadian force majeure. Sering menjadi masalah dalam hal ini siapakah yang harus menanggung resiko tersebut, apakah pihak penjual atau pihak pembeli.

Untuk pengaturan resiko dalam hal jual beli internasional ini, hukum memberikan jalan yuridis sebagai berikut:

  1. Resiko dapat diatur sendiri dalam kontrak yang bersangkutan.
  2. Resiko mengikuti kepemilikan. Dalam hal ini apabila hak milik sudah berpindah kepada penjual, maka resiko pun berpindah kepada penjual.
  3. Resiko mengikuti pengaturan hukum mana yang berlaku. Setelah ditentukan hukum negara mana yang berlaku, maka dilihat bagaimana pengaturan resiko dalam hukum negara tersebut.
  4. Resiko mengikuti prinsip reservasi kepemilikan. Adakalanya ditentukan dalam kontrak bahwa hak milik belum berpindah meskipun barang sudah diserahkan, misalnya karena harga belum dibayar lunas. Karena itu, adalah adil jika ditentukan dalam kontrak bahwa resiko pun mestinya belum berpindah ke pihak pembeli.
  5. Risiko mengikuti penyerahan benda. Jika benda sudah diserahkan, maka risiko pun sudah harus berpindah. Tentang saat penyerahan benda ini terdapat berbagai kemungkinan bergantung model mana yang dipilih oleh para pihak dalam kontrak tersebut. misalnya, dapat dipilih model FOB (free on board), CIF (Cost, Insurance and Freight) dan lain-lain.

 

B. Metode Pembayaran Internasional

Dalam dunia bisnis dan hukum, ada perkembangan secara revolutif terhadap metode pembayaran terhadap suatu transaksiini. Perkembangan metode pembayaran scara revolutif adalah sebagai berikut.

  1. Mulai dari metode pembayaran hutang ditukar dengan barang (barter).
  2. Metode pembayaran cash (pembayaran ditukar langsung dengan uang).
  3. Metode pembayaran dengan cek (barang ditukar dengan cek).
  4. Metode pembayaran yang lebih mutakhir, seperti pembayaran lewat letter of credit (L/C), kartu kredit, kertu debit dan sebagainya.

Dalam hukum tentang perdagangan internasional, apabila dilihat dari waktu dilakukannya pembayaran, dikenal beberapa metode pembayaran sebagai berikut.

  1. Metode Pembayaran Terlebih Dahulu.

Pengertian dari metode ini adalah suatu sistem pembayaran dimana pihak penjual (eksportir) baru akan mengirim barang dagangannya setelah menerima pengiriman harga barang.

  1. Metode Pembayaran secara Open Account.

Metode ini merupakan kebalikan dari metode pembayaran terlebih dahulu. Dengan metode pembayaran open account ini, harga akan dibayar oleh pembeli setelah harga diterima oleh penjual.

  1. Metode Pembayaran atas Dasar Konsinyasi.

Dalam metode pembayaran ini, pembayaran dilakukan lebih lama lagi. Hal ini disebabkan harga barang tersebut telah dijual lagi oleh pembeli kepada pihak ketiga dan harga sudah dilunasi oleh pihak ketiga tersebut kepada pihak pembeli.

  1. Metode Pembayaran secara Documentary Collection.

Metode pembayaran ini dilakukan dengan menggunakan dokumen Bills of Exchange. Yakni ketika barang segera harus dibayar setelah shipping documents tiba di banknya importir. Pembayaran harga tersebut dipertukarkan dengan shipping documents tersebut, dimana tanpa shipping documents, pihak importir tidak dapat mengambil barang tersebut.

  1. Metode Pembayaran secara Documentary Credit.

Dengan metode pembayaran ini, yang dimaksudkan adalah bahwa pembayaran dilakukan dengan memakai dokumen Letter of Credit (L/C). Dalam hal ini pembayaran dilakukan tanpa menunggu tibanya barang atau tibanya dokumen. Akan tetapi, dibayar pada saat pihak telah membuka letter of credit di suatu bank dan bank tersebut meneruskannya kepada bank koresponden. Maka pada saat tersebut barang sudah dapat dikirim.

 

C. Saat Pembayaran Benda dan Penyerahan Kepemilikan

Dalam suatu transaksi internasional yang memerlukan penyerahan benda, kapankah sebenarnya benda tersebut dianggap sudah diserahkan. Hal ini menjadi rumit manakala pengiriman barang ke tempat tujuan tempatnya jauh, dengan berbagai kemungkinan dapat terjadi di tengah jalan.

Tentang kapan saatnya dianggap penyerahan barang sehingga dianggap uga saat penyerahan kepemilikan, dan peralihan risiko, oleh International Chamber of Commerse telah mengatur berbagai kemungkinannya, yang kemudian dikenal dengan istilah INCOMERS. INCOMERS ini diperkenalkan pertama kali oleh International Chamber of Commerse pada tahun 1936, yang kemudian diubah secara berturut-turut tahun 1953, 1967, 1976, 1980, dan 2000 dan seterusnya.

Dalam INCOMERS tersebut terdapat istilah-istilah sebagai berikut.

  1. Ex Work (diikuti dengan nama tempat) disingkat EXW

Dalam hal ini pihak pengirim/penjual barang bertanggung jawab hanya sampai di tempat pengirimnya sendiri. Misalnya, dia hanya bertanggung jawab hanya sebatas di gudang/pabrik penjual sendiri. Jadi, penjual tidak bertanggung jawab terhadap loading ke atas kendaraan dan clearing untuk diekspor juga bertanggung jawab pembeli.

  1. Free Carier (diikuti nama tempat) disingkat FCA

Dalam hal ini pihak penjual tidak lagi bertanggung jawab setelah barang ini diserahkan dan setelah dilakukan clearinguntuk diekspor sampai ke tempat tertentu yang ditentukan oleh pembeli.

  1. Free Alongside Ship (Diikuti Nama Pelabuhan Muat) disingkat FAS

Dalam hal ini pihak penjual hanya bertanggung jawab sampai dengan barang tiba di kapal, tetapi mulai dari memuatnya ke dalam kapal sudah menjadi tanggung jawab pembeli.

  1. Free on Board (Diikuti Nama Pelabuhan Muat) disingkat FOB

Dalam hal ini pihak penjual hanya bertanggung jawab sampai barang tersebut dimuat dalam kapal. Tepatnya penjual bertanggung jawab hanya setelah barang tersebut melewati ship’s rail di pelabuhan yang bersangkutan.

  1. Cost and Freight (Diikuti Nama Pelabuhan Bongkar) disingkat CFR atau C&F

Dalam hal ini pihak penjual hanya bertanggung jawab terhadap cost dan freight saja. Sementara pihak pembeli bertanggung jawab terhadap risiko dan biaya-biaya lainnya.

  1. Cost, Insurance & Freight (Diikuti Nama Pelabuhan Bongkar) disingkat CIF

Dalam hal ini tanggung jawab pihak penjual sama seperti dalam C&F tersebut di atas, ditambah dengan kewajiban pihak penjual untuk mengasuransikan barang tersebut terhadap hilang atau rusak.

  1. Carriage Paid To (Diikuti Nama Tempat Tujuan) Disingkat CPT

Dalam hal ini pihak penjual bertanggung jawab terhadap freight pengiriman sampai ke tempat tujuan, sementara pihak pembeli bertanggung jawab terhadap risiko, rusak atau hilangnya barang.

  1. Carriage and Insurance Paid To (Diikuti Nama Tempat Tujuan) Disingkat CIP

Dalam hal ini tanggung jawab sama dengan tanggung jawab dalam hal CPT tersebut di atas, ditambah dengan kewajiban penjual untuk mengasuransikan barang dan membayar premi asuransi.

  1. Delivered at Frontier (Diikuti Nama Tempat Tujuan) Disingkat DAF

Dalam hal ini pihak penjual bertanggung jawab sampai barang di tempat tujuan, tetapi sebelum sampai ke customs boarder dari negara tempat tujuan.

  1. Delivered Ex Ship (Diikuti Nama Tempat Tujuan) disingkat DES

Dalam hal ini pihak penjual bertanggung jawab sampai ke pelabuhan tempat tujuan, tetapi tidak bertanggung jawab terhadap clearing barang impor.

  1. Delivered Ex Quay (Duty Paid) (diikutin nama pelabuhan bongkar) disingkat DEQ

Dalam hal ini tanggung jawabnya sama dengan dalam sistem DES, ditambah kewajiban pihak penjual terhadap cost dan risk yang mungkin timbul dalam hal clearing barang impor dan custom formalities.

  1. Delivered Duty Unpaid (diikuti nama tempat tujuan) disingkat DDU

Dalam hal ini pihak penjual bertanggung jawab sampai ke tempat tujuan. Jadi, dia bertanggung jawab terhadap semua cost dan risk dalam hal mengangkut barang, tetapi tidak termasuk clearing barang impor, custom, formalities, dan lain-lain.

  1. Delivered Duty Paid (diikuti nama tempat tujuan) disingkat DDP

Dalam hal ini penjual bertanggung jawab sampai ke temopat tujuan, di mana dia harus bertanggung jawab terhadap semua cost dan risk, termasuk pajak, duties, clearing barang impor, custom formalities, dan lain-lain.

  1. Free on Truck disingkat FOT

Dalam hal ini, pihak penjual bertanggung jawab sampai dengan barang dimuat dalam truk.

  1. Free on Rail disingkat FOR

Dalam hal ini, pihak penjual bertanggung jawab sampai dengan baramng dimuat dalam kereta api.

  1. Free in Clause

Dalam hal ini pihak penjual bertanggung jawab terhadap pembayaran biaya muat/bongkar.

  1. Free Out Clause

Dalam hal ini biaya muat/bongkar ditanggung oleh pihak pembeli.

 

D. Letter of Credit

1. Pengertian dan dasar hukum L/C

Letter of credit atau Documentary Credit adalah suatu kontrak dengan mana suatu bank (issuing bank) bertindak atas permintaan dan perintah dari seorang nasabah (pemohon L/C) yang biasanya bertindak sebagai importir untuk melakukan pembayaran kepada pihak pengekspor atau pihak ketiga (beneficiary) atau membayar atau mengaksep wesel-wesel yang ditarik oleh beneficiary, atau memberi kuasa kepada bank lain untuk melakukan pembayaran, atau untuk mengaksep atau mengambil alih (negosiasi) wesel-wesel tersebut, atas dasar penyerahan dokumen tertentu yang sebelumnya telah ditentukan, asalkan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Penerbitan L/C didasari atas suatu kontrak jual/ beli ekspor impor yang disebutkan di dalamnya bahwa cara pembayarannya adalah dengan penerbitan L/C oleh pihak pembeli. Unsur-unsur yuridis dari penerbitan suatu L/C adalah sebagai berikut:

  1. Adanya kontrak jual beli.
  2. Atau dipakai surat pesanan, proforma invoice, atau confirmation of sale, jika kontrak jual beli tersebut tidak ada.
  3. Menyediakan sejumlah dana yang harus disetor kepada bank sesuai peraturan dan ketentuan perbankan yang belaku.

Proses penerbitan L/C adalah sebagai berikut:

  1. Kontrak jual beli dilakukan, dalam kontrak mana ditentukan bahwa pihak pembeli wajib membuka L/C.
  2. Pihak pembeli mengajukan aplikasi L/C kepada bank devisa (bank penerbit) untuk kepentingan pihak penjual.
  3. Bank penerbit m,engirim surat L/C kepada penjual melalui bank koresponden.
  4. Bank koresponden/ advising bank member tahu penjual bahwa kepadanya L/C telah diterbitkan.
  5. Setelah penjual menerima surat L/C, maka dia mengirim barangnya kepada pembeli.
  6. Oleh penjual, dokumen asli diserahkan kepada advising bank dan duplikatnya dikirim kepada pembeli.
  7. Dilakukan pembayaran oleh advising bank setelah meneliti kelengkapan dokumen.
  8. Dokumen yang telah diterima oleh advising bank dikirim ke issuing bank.
  9. Setelah menerima dokumen-dokumen, issuing bank membayar kepada advisisng bank.
  10. Pembuka kredit (pembeli) membayar kewajibannya kepada issuing bank setelah dinotifikasi oleh issuing bank semua dokumen telah dating.
  11. Issuing bank mengirim dokumen asli kepada pembuka kredit, berdasarkan dokumen-dokumen mana barang-barang dapat diminta dari pengangkut.

 

2. Para Pihak dalam L/C

Adapun yang merupakan para pihak dalam suatu L/C adalah sebagai berikut:

a. Pihak pembeli

Pihak pembeli adalah pihak importer yang membeli barang dan membuka L/C.

b. Pihak penjual

Pihak penjual adalah phak eksportir terhadapnya L/C dibuka.

c. Pihak pembuka L/C

Bank pembuka L/C atau yang disebut dengan issuing bank adalah bank yang membuka L/C setelah dimintakan oleh pihak pembeli.

d. Pihak Penerus L/C

Bank penerus L/C adalah bank yang dimintakan oleh bank pembuka L/C untuk meneruskan L/C dan membayarakan kepada pihak penjual. Bank penerus L/C ini disebut juga dengan Conforming Bank, Correspondent Bank, Advising Bank, Paying Bank, atau Negotiating Bank.

3. Jenis-jenis L/C

L/C banyak jenisnya. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Revocable L/C

UmumnyaL/C tidak dapat dibatalkan (irrevocable) kecuali dengan perseujuan kedua belah pihak. Akan tetapi., ada jenis L/C yang dapat dibatalkanoleh salah satu pihak tanpa membutuhkan persetujuan pihak lainnya, yaitu yang disebut dengan revocable L/C.

b. Sight L/C

Usance L/C adalah L/C yang dibayar oleh advising bank pada saat wesel-wesel dan dokumen-dokumen lain diajukan oleh eksportir. Yang kemudian menjadi tanggung gugat adalah pihak atas nama siapa wesel tersebut diterbitkan, yaitu advising bank, opening bank, bank ketiga, atau pihak pembeli.

c. Open/Clean L/C

Biasanya L/C dibayar dengan menunjukkan dokumen tetretntu (documentary L/C). Akan tetapi, adakalanya L/C dapat dibayar tanpa perlu menunjukkan dokumen tertentu, seperti L/C untuk pembayaran rutin yang jumlah uangnya kecil-kecil, L/C seperti ini disebut dengan open/clean L/C.

d. Restricted/Straight L/C

Adakalanya ada klausula yang menyebutkan bahwa suatu L/C hanya dapat dinegosiasi oleh bank tertentu saja. L/C seperti itu disebut dengan restricted/straight L/C. Jika L/C yang telah diteruskan oleh advising bank kemudian bank-bank lain dapat menegosiasikannya disebut dengan general L/C.

e. Non Transferable L/C

Apabila secara khusus ada klausa yang menyatakan bahwa L/C dapat dialihkan kepada pihak lain, maka L/C yang demikian disebut dengan Transferable L/C atau assignable L/C ataupun Divisible L/C. Akan tetapi, apabila tidak ada penyebutan seperti itu, disebut dengan Non-Transferable L/C.

f. Aflopend dan Revolving L/C

Aflopend L/C adalah L/C yang apabila tidak digunakan dalam batas waktu tertentu, L/C tersebut tidak dapat digunakan lagi. Jika L/C tersebut masih juga ingin digunakan, L/C tersebut harus diperpanjang lebih dahulu atau dibuka L/C baru. Di samping itu, ada L/C yang berjangka waktu cukup lama, di mana dalam jangka waktu tersebut dapat diperkenankan menarik beberapa wesel, karena memang ada beberapa transaksi. L/C seperti ini disebut dengan revolving L/C.

g. Back to Back L/C

Back to back L/C disebut dengan istilah Counter L/C. Dalam hal ini dikeluarkan L/C di mana negotiating/advising bank bukan langsung membayar L/C, malainkan membuka L/C baru (misalnya dengan terms dan conditions yang berbeda) untuk kepentingan pihak ketiga. L/C seperti ini diterbitkan misalnya jika pihak pembeli hanya sebagai perantara/komisi saja.

h. Red Clause L/C

Red Clause L/C disebut juga dengan istilah anticipatory L/C. Pada L/C seperti ini dituliskan dengan tinta merah suatu klausula (red clause) yang menyatakan bahwa sebagian uang dalam L/C dapat dibayar meskipun dokumen belum diberikan. Pembayaran tersebut sering dimaksudkan sebagai advance payment dari jual beli yang bersangkutan.

i. Transit L/C

Transit L/C adalah L/C yang proses penerbitannya dilakukan sebagai berikut: issuing bank di negara X membuka L/C atas permintaan aplicant di negara Y melalui banknya di negara Y untuk dibayar kepada beneficiary di negara Z. Jadi, ada 3 (tiga) bank di 3 (tiga) negara yang terlibat. L/C seperti ini diterbitkan misalnya bank applicant kurang dikenal atau tidak acceptable oleh pihak penjual. Sehingga dibutuhkan bank di negara lain yang lebih terkenal dan terpercaya.

j. Travellers L/C

Suatu travellers L/C berguna bagi orang yang bepergian, yang membawa L/C sebagai ganti membawa uang. Dalam hal ini di negara asal dimintakan suatu bank untuk menerbitkan L/C, sedangkan advising bank adalah di negara-negara tempat tujuan perjalanan. Dalan hal ini nomor paspor dan contoh tanda tangan dari pihak pemilik L/C menjadi syarat pembukuan L/C jenis ini.

k. Stand By L/C

Stand By L/C berfungsi sama dengan garansi, yakni L/C yang dapat dipergunakan untuk menjamin jika ada wanprestasi atas suatu kontrak. L/C seperti ini tetap tidak dibayar-bayar (stand by) sampai terjadi suatu tindakan tertentu, misalnya jika ada wanprestasi atas kontrak.

4. Prinsip-prinsip Yuridis dari L/C

Terhadap suatu L/C berlakulah prinsip-prinsip yuridis sebagai berikut:

  1. Hukum terhadap L/C adalah hukum tentang dokumen, bukan hukum tentang barang atau jasa. Karena bank harus telah membayar sebelum barang datang, maka bank hanya dapat berpegang pada dokumen semata-mata. Konsekuensinya bahwa antara L/C dengan kontrak jual beli berdiri independen, bukan assessoir dari yang 1 (satu) terhadap yang lainnya. Sehingga dalam hal ini, jika yang 1 (satu ) tidak sah, tidak berarti yang lainnyajuga tidak sah. Akan tetapi, prinsip independensi ini ada kekecualinnya, yaitu apa yang dikenal dengan “fraud exeption”. Yaitu jika terjadi penipuan (fraud) dalam kontrak jual beli, maka L/C tidak dapat dibenarkan, meskipun dokumen-dokumen L/C lengkap dan sempurna.
  2. Bank berkewajiban untuk memeriksa seluruh dokumen dengan tingkat kepedulian yang wajar (reasonable care).
  3. Terhadap L/C yang memerlukan dokumen, maka doktrin substantif performance tidak berlaku. Yang berlaku adalah dokrin strict compliance. Yakni para pihak harus memenuhi dokumen secara strict, seperti yang tertulis dalam “the four corner” dari dokumen-dokumen yang ada. Meskipun begitu, ada penyimpangan-penyimpangan yang bersifat marginal terhadap doktrin strict compliance dapat dibenarkan. Penyimpangan tersebut misalnya dengan memberlakukan asas “merchantile custome”,”usage”,”the equivalence, universally understood”, dan lain-lain.
  4. Bank dapat menerima dokumen dalam sistem informasi modern, seperti facsimile, telex, carbon copy, dan sebagainya.
  5. Berlaku prinsip silence is consent. Maksudnya adalah bahwa kepada bank diberikan waktu yang pantas (reasonable time) untuk memutuskan apakah menerima atau menolak dokumen tersebut. Apabila dalam waktu yang pantas tersebut bank diam saja, dianggap bank menerima dokumen tersebut.
  6. Berlaku Homeword Trend. Maksudnya bila tidak diatur dalam peraturan inernasional (UPC) dan terdapat perbedaan antara hukum di negara issuing bank dengan hukum di negara advising bank, maka yang berlaku adalah hukum di negara issuing bank. Akan tetapi terjadi perkembangan dalam praktek yang menginginkan berlakunya hukum di negara advising bank (lex loci contractus).

 

E. Imbal Beli Inernasional

Transaksi imbal beli disebut juga dengan istilah ”barter”,”counter purchase”, atau “counter trade”. Yang dimaksudkan adalah suatu jenis transaksi dagang di mana sebuah perusahaan mengekspor barang tertentu ke suatu negara dengan persyaratan bahwa dia juga harus mengimpor barang-barang lain dari negara tersebut sebagai imbalannya. Secara sangat klasik imbal beli internasional ini disebut sebagai tukar-menukar atau “barter”. Banyak negara mempersyaratkan agar dalam bisnis tertentu dilakukan cara barter ini. Yang merupakan motif mengapa dilakukan suatu transaksi secara imbal beli adalah sebagai berikut:

  1. Ada negara yang tidak mempunyai cukup devisa untuk melakukan pembayaran atas jual-beli suatu produk.
  2. Terkadang devisa cukup tersedia, tetapi labih diprioritaskan untuk bidang-bidang lain.
  3. Kesempatan bagi negara pembeli untuk menggenjot ekspornya.

Adapun yang menjadi dasar hukum dari suatu kontrak imbal beli adalah sebagai berikut.

  1. Ketentuan Umum Tentang Kontrak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
  2. Ketentuan KUH Perdata tentang Jual Beli.
  3. Ketentuan KUH Perdata tentang Tukar-Menukar.
  4. Kebiasaan dalam Perdagangan Internasional.
  5. Hukum Perdata Internasional.
  6. Internasional Convention.
  7. Hukum Internal Lainnya, seperti Hukum tentang Ekspor-Impor, L/C. Moneter, Perbankan, dan lain-lain.

Dilihat secara yuridis, ada berbagai jenis transaksi dengan cara imbal beli ini, yaitu sebagai berikut:

  1. Commercial Counter Trade

Imbal beli komersil ini dimaksudkan sebagai suatu imbal beli di mana suatu negara setuju menjual produknya ke negara lain dan sebagai imbalannya negara lain tersebut setuju untuk membeli barang tertentu dari mitra dagangnya itu. Counter trade seperti ini biasanya mengambil model tukar langsung (barter). Misalnya, pemerintah Iran mempertukarkan 700.000 (tujuh ratus ribu) barel minyak mentah dengan 200.000 (dua ratus ribu) ton beras dari Thailand. Atau pemerintah Indonesia pernah merencanakan (tetapi gagal) mempertukarkan pesawat terbang buatan Bandung (jenis CN 35) dengan beras ketan dari Thailand.

  1. Industrial Counter Trade

Dengan model imbal beli seperti ini, sebuah negara industri menjual peralatan canggih kepada negara lain dengan imbalan negara tersebut membeli produk yang dihasilkan oleh industri tersebut.

Misalnya, negara Jepang menstranfer teknologi petroleum ke Indonesia dengan imbalan bahwa Jepang akan membeli produk petroleum dari Indonesia misalnya selama 20 (dua puluh) tahun.

  1. Counter Purchase

Dengan counter purchase tersebut, sebuah perusahaan swasta di suatu negara menjual suatu produk ke perusahaan di negara lain dengan imbalan di mana dia juga harus membeli produk tertentu lainnya dari negara lain tersebut.        Misalnya, sering kali perusahaan yang memproduksi pesawat terbang di Amerika Serikat menjual pesawatnya ke negara-negara blok Timur, tetapi dia juga harus membeli barang-barang sandang-pangan dari negara-negara blok Timur tersebut. Atau sebuah perusahaan Indonesia membuat sebuah jalan tol di Malaysia di mana sebagai imbalannya, dia harus membeli mobil buatan Malaysia (merek Proton Saga) untuk dijadikan taxi di Indonesia.

  1. Compensation/Buy Back

Imbal beli dengan bentuk compensation ini sering disebut dengan “buy back”. Compensation termasuk salah satu model imbal beli komersil, di mana yang dimaksudkan adalah sebagai suatu imbal beli dengan mana suatu Negara setuju menjual produknya ke Negara lain dan sebagai imbalannya Negara lain tersebut setuju untuk membeli barang tertentu dari mitra dagangnya itu.

  1. Barter

Barter adalah suatu model imbal beli yang paling sederhana di mana yang terjadi adalah semacam tukar lepas. Dalam hal ini suatu benda dari 1 (satu) negara dipertukarkan dengan benda dari negara lain secara langsung tanpa perlu mengaitkan dengan harga tertentu. Dengan demikian, barter tergolong ke dalam “noncurrency transaction”. Contoh transaksi barter adalah seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu pemerintah Indonesia pernah merencanakan (tetapi gagal) untuk mempertukarkan pesawat terbang buatan Bandung dengan sekian ton beras ketan dari Thailand.

  1. Perjanjian Swap

Swap merupakan transaksi antara 3 (tiga) pihak atau lebih di mana untuk menghemat ongkos-ongkos, dilakukan pertukaran pengiriman barang. Misalnya, pernah terjadi di mana negara Uni Soviet akan mengirim minyak mentah ke Cuba, sementara Mexico juga akan mengirim minyak mentahnya ke Turki. Untuk menghemat biaya pengiriman dilakukanlah transaksi swap, di mana pihak Mexico mengirim minyak mentahnya ke Cuba (sehingga lebih dekat) dan pihak Uni Soviet akan mengirim minyak mentahnya ke Yunani dan Turki (juga lebih dekat).

  1. Perjanjian Clearing

Dengan Perjanjian Clearing yang dimaksudkan adalah perjanjian antara 2 (dua) negara dengan mana masing-masing Negara saling membeli produk yang berbeda sampai jumlah tertentu dalam waktu tertentu. Untuk dapat terlaksana maksud tersebut dibukalah clearing account atau yang disebut juga dengan evidence account.

  1. Switch Trading

Dalam hubungannya dengan perjanjian clearing seperti tersebut di atas, jika ada pihak yang tidak dapat memenuhi prestasinya, khususnya jika salah satu pihak tidak dapat membeli seperti yang diperjanjikan, maka timbullah angka kredit pada clearing account. Akan tetapi, dengan switch trading, pihak yang tidak dapat memenuhi prestasinya dapat menunjuk pihak ketiga untuk mensubsitusinya (biasanya dengan suatu harga discount khusus).

  1. Transaksi Offset

Transaksi offset merupakan bentuk kombinasi antara kewajiban menyuplai barang ke negara lain berdasarkan suatu kontrak, tetapi di lain pihak ada kewajiban untuk membeli barang-barang spareparts atau barang-barang lain dari Negara yang disuplai tersebut.

  1. Program Import Entitlement

Program Import entitlement merupakan program yang berlandaskan kepada pembelian parallel. Dalam hal ini bagi pihak yang menjual barang ke negara tertentu akan diberikan “perlakuan khusus” seandainya dia juga dapat membeli barang tertentu dengan nilai yang sama dari negara tersebut.

  1. Perjanjian Framework

Dalam hal ini dibuat suatu kontrak jangka panjang, di mana dilakukan pertukaran ekspor secara rutin berdasarkan “on going” basis. Dalam hal ini kekurangan atau kelebihan pasokan dari Negara tersebut akan dihitung dengan menggunakan escrow. Berbeda dengan imbal beli biasa yang dilakukan berdasarkan kasus per kasus, maka kontrak framework dilakukan berdasarkan on going basis secara rutin untuk jangka waktu tertentu.

  1. Imbal Beli Proactive

Imbal beli proactive sering disebut juga dengan imbal beli yang progresif. Dalam hal ini yang dilakukan adalah pihak pemasok barang ke-1 (kesatu) negara sebelum memasok barangnya justru terlebih dahulu membeli barang-barang tertentu dari negara tujuan tersebut. Setelah dia membeli barang tersebut, hak untuk memasok bila perlu dapat dijualnya kepada orang lain dengan pembayaran fee tertentu.

  1. Reverse Countertrade

Reverse countertrade sering juga disebut dengan positive countertrade. Yang dimaksudkan adalah bahwa pihak yang akan melakukan transaksi dengan Negara lain justru lebih senang melakukan deal secara imbal beli daripada deal tunai (dengan hard currency). Hal ini misalnya dimaksudkan agar terjamin cukup tersedianya supply bahan-bahan tertentu yang akan under supply di masa tertentu.

 

F. World Trade Organization

1. Pengertian dan Latar Belakang General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

Karena dalam berinteraksi secara internasional satu sama lain dalam perdagangan dunia akan mengalami bentrokan dan perselissihan-perselisihan, maka negara-negara di dunia memerlukan suatu kesepakatan terhadap aturan main tertentu dalam suatu sistem perdagangan global. Sistem aturan main, termasuk sistem penyelesaian sengketa berkembang dalam suatu tatanan dalam ruang lingkup General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)/World Trade Organization (WTO).

World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi kelanjutan dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang dibentuk pada tahun 1947 dan mulai beroperasi pada tahun 1948 merupakan suatu sistem, suatu forum, dan suatu lembaga internasional di bidang perdagangan, yang berwujud suatu kontrak atau traktat antara pihak peserta kontrak, untuk mematuhi aturan main yang telah disepakati bersama dalam bidang perdagangan internasional.

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) memiliki beberapa system dan forum sebagai berikut:

a. Syistem Yuridis

Dalam hal ini akan berfungsi sebagai pembuat aturan main (rule making).

b. Forum Negoisasi

Forum ini akan berfungsi sebagai pelaksana negoisasi putaran perundingan, dengan sasaran untuk mencapai pengembangan terhadap perjanjian multilateral, tariff dan nontariff, dan sebagainya.

c. Forum Pengambilan Keputusan

Forum ini berfungsi sebagai pengendali arah. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sebagai suatu sistem.

d. Sistem Penyelesaian Sengketa

Fungsinya adalah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dengan mekanisme yang baik dan adil.

e. Sistem Organisasi Internasional

Sistem ini berfungsi untuk mengarahkan operasi General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) secara terpadu, sehingga dapat mengendalikan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sebagai lembaga.

Sebagaimana diketahui bahwa General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) terbentuk pada tahun 1947. Sejak itu General Agreement on tariffs and Trade (GATT) telah melakukan beberapa putaran perundingan, yaitu sebagai berikut:

  1. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) Conference (1947) dengan peserta 23 (dua puluh tiga) negara.
  2. Perundingan Annecy (1949) dengan peserta 33 (tiga puluh tiga) negara.
  3. Perundingan Torquay (1950-1951) dengan peserta 38 (tiga puluh delapan) negara.
  4. Perundingan Genewa (1955-1956), dengan peserta 26 (dua puluh enam) negara.
  5. Dillon Round (1960-1961) dengan peserta 62 (enam puluh dua) negara.
  6. Kennedy Round (1964-1967) dengan peserta 102 (seratus dua) negara.
  7. Tokyo Round (1973-1979) dengan peserta 117 (seratus tujuh belas) negara.
  8. Uruguay Round (1986-1994), dengan peserta lebih dari 100 negara, yang berakhir tanggal 15 April 1994 di Marakesh (Maroko).

World Trade Organization (WTO) merupakan kelanjutan dari GATT, sehingga dengan berdirinya World Trade Organization (WTO) sejak 1 Januari 1995, maka dunia mulai memiliki sebuah organisasi berbentuk badan hokum yang disebut dengan Wrld Trade Organization (WTO). WTO sendiri merupakan hasil kesepakatan terpenting dalam putaran Uruguay (1986-1994).

Fungsi-fungsi WTO yang terpenting adalah untuk memperlancar pelaksanaan, pengadministrasian, dan peningkatan tujuan dari perjanjian pembentukan WTO sebagai forum negosiasi bagi anggota, forum penyelesaian sengketa, dan pelaksanaan atas kebijakan perdagangan.

WTO memiliki beberapa organ sebagai berikut:

  1. Ministerial Conference
  2. General Council
  3. Council for Trade in Goods
  4. Council for trade in services
  5. Council for Trade-Related Aspects of Intelectual Property Right (TRIPS)

Sedangkan secara sederhana, struktur organisasi WTO adalah sebagai berikut: a.. Contracting parties

  1. Council of Representative
  2. Committees
  3. Working parties

2. Prinsip-Prinsip Utama

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) melandaskan pengurutannya pada beberapa prinsip utama sebagai berikut:

  1. Prinsip nondiskriminasi
  2. Prinsip National treatment
  3. Prinsip penghapusan hambatan dalam bentuk transaksi kuantitaif.
  4. Prinsip resiprositas
  5. Prinsip wiver dan pembatasan darurat terhadap impor
  6. Prinsip persaingan yang adil
  7. Prinsip kekecalian untuk perjanjian perdagangan regional
  8. Prinsip safeguard
  9. Prinsip special and differential treatment.
  • Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lewat WTO

Penyelesaian sengketa oleh WTO ini dilakukan oleh suatu badan yang disebut dengan Dispute Settlement Body. Penyelesaian sengketa dilakukan dengan memakai alternatif sebagai berikut:

  1. Konsultasi
  2. Good Offices
  3. Konsiliasi
  4. Mediasi
  5. Arbitrase
  6. Panel

 

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 2002. Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

 

Tinggalkan komentar